Perjalanan reformasi birokrasi nampaknya tak terasa sudah dimulai sejak tahun 2002 yang dimasinisi oleh Depertemen Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak. (DJP) sebagai lokomotifnya. Tentunya hal ini tidak mengagetkan dengan dimulainya DJP sebagai instansi percontohan reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan prima dan pelaksanaan good governance mengingat kedudukan DJP sebagai instansi yang sangat strategis. Tahun 2007 ini saja DJP berkewajiban untuk memasukkan penerimaan APBN yang bersumber dari sektor pajak sekitar 70% dan diharapkan setelah reformasi birokrasi berlangsung, penerimaan pajak dapat memberikan kontribusi pada penerimaan APBN hingga mendekati 100% (Majalah Berita Pajak Vol. XXXIX No 1591, 15 Juli 2007). Dengan meningkatnya penerimaan dari sektor perpajakan, diharapkan pula pemerintah mampu meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dengan tanpa menengadahkan tangan kepada negara lain. Tanpa disadari penjajahan baru (Neokolonialisme) setelah 62 tahun bangsa Indonesia merdeka sebenarnya adalah ketergantungan kepada negara lain, dimana bangsa Indonesia sudah termasuk dalam kelompok Negara-Negara Miskin Pengutang Berat (Highly Indebted Poor Countries, HIPS) seperti diungkapkan dalam Wacana:Kejahatan Utang Luar Negeri dan Reformasi Bank Dunia (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif No III tahun 1999). Banyak pakar berpendapat bahwa tidak ada suatu bangsa yang secara ikhlas membantu bangsa lain. Motif dibalik hubungan ekonomi internasional baik berupa utang luar negeri maupun investasi asing adalah keuntungan semata-mata dalam bentuk penyedotan surplus ekonomi. Beberapa tokoh yang mengemukakan pendapat ini antara lain Prof Rowena M. Lawson, Prof. Joan Robinson, dan Prof. Hans Singer dari University of Hall England, 1997.
Dengan demikian syarat mutlak menuju kemandirian bangsa adalah dengan meningkatkan peran serta aktif seluruh masyarakat melalui pembayaran pajak. Reformasi birokrasi di tubuh DJP kali ini lebih dikenal dengan kata Modernisasi. Modernisasi tidak hanya sebatas peraturan (kebijakan) perpajakan seperti yang terdahulu, yakni Amandemen Undang-Undang Pajak, melainkan secara komprehensif dan simultan menyentuh instrumen perpajakan lainnya seperti sistem, institusi, pelayanan kepada masyarakat wajib pajak, pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan, serta tak kalah pentingnya moral, etika, dan integritas petugas pajak
KPP Pra Modern
Dalam sejarah reformasi perpajakan tercatat bahwa DJP telah melakukan reformasi besar-besaran pertama kali pada tahun 1983 dengan merubah sistem pemungutan pajak dari semula Official Assessment System menjadi Self Assesment System yang pada waktu itu Kantor Pajak masih dinamakan Kantor Inspeksi Pajak. Kemudian pada tahun 1989, Kantor Inspeksi Pajak diubah menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menjalankan fungsi pelayanan untuk jenis Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sedangkan KP. PBB (Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) yang berfungsi sebagai kantor pelayanan untuk jenis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Fungsi pemeriksaan dijalankan oleh Karikpa (Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak) yang sebelum tahun 1994 disebut Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (UP3) dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP-4) yang sebelum tahun 2001 disebut Kantor Penyuluhan sebagai fungsi penyuluhan.
Stuktur organisasi pada fungsi pelayanan di KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak seperti Seksi PPh Badan, PPh Perseorangan, PPh Pemotongan Pemungutan, dan PPN. Pada struktur ini fungsi pelayanan dilakukan oleh KPP namun pemeriksaan juga dilaksanakan oleh KPP selain Karikpa, Fungsional Kanwil, dan Fungsional Kantor Pusat DJP sehingga terjadi fungsi ganda. Begitu juga dengan pelayanan tidak bersifat satu atap (one stop service) karena mengingat jenis pajak PPh dan PPN diadministrasikan oleh KPP sedangkan jenis pajak PBB dan BPHTB oleh KP. PBB. Pengajuan keberatan sebelum modern diproses di KPP disamping Kanwil dan Kantor Pusat DJP, hal ini memunculkan dualisme fungsi, karena yang memeriksa adalah KPP dan proses penyelesaian keberatan juga dilakukan di KPP untuk aristasi KPP. Hal inilah yang mendorong dibentuknya KPP Modern.
KPP Modern
Jika kita cermati, perjalanan panjang modernisasi perpajakan DJP dari tahun 2002 hingga sekarang adalah pertama, bermula pada medio 2002 sesuai Kepmenkeu No 65/KMK.01/2002 dibentuk 2 KPP LTO (Large Taxpayers Office) yang kemudian disebut KPP WP BESAR yang berdomisili di Jakarta dengan jumlah masing-masing WP sebanyak 300 WP Badan terbesar di seluruh Indonesia dan hanya mengadiminstrasikan jenis Pajak PPh dan PPN. Kedua,pada tahun 2003 dengan Kepmenkeu No 519/KMK.01/2003 jo. 587/KMK.01/2003 dibentuk 10 KPP KHUSUS yang berdomisili di Jakarta meliputi KPP BUMN, Perusahaan PMA, WP Badan dan Orang Asing, dan Perusahaan Masuk Bursa dan hanya mengadiminstrasikan jenis Pajak PPh dan PPN. Ketiga, pada tahun 2004 berdasarkan Kepmenkeu No 254/KMK.01/2004 dibentuk KPP MTO (Medium Taxpayers Office) yangkemudian disebut KPP MADYA yang berjumlah 1 di setiap Kanwil dan 10 di Kanwil Khusus dengan total 32 KPP Madya di seluruh Indonesia. Jumlah masing-masing WP KPP Madya sebanyak 200-500 perusahaan terbesar di tingkat wilayah Kanwil tersebut termasuk WP lokasi yang domisilinya terdaftar pada Kanwil modern lain dan Indonesia. KPP Madya juga hanya mengadministrasikan jenis Pajak PPh dan PPN. Keempat, pada tahun 2006 hingga 2008 dibentuk KPP Small Taxpayers Office (STO) yang kemudian disebut KPP PRATAMA dengan total 357 KPP Pratama di seluruh Kanwil. KPP Pratama bertugas melayani WP Badan menengah ke bawah dan WP Orang Pribadi meliputi jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB.
Dalam struktur yang modern ini terdapat perbedaan yang cukup radikal dan signifikan yakni yang dulunya struktur organisasi KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak diubah menjadi berdasarkan fungsi guna debirokratisasi pelayanan seperti Seksi Pelayanan dan Seksi Pemeriksaan dibentuk secara terpisah. Pelayanan perpajakanpun sudah mulai satu atap (one stop service) karena semua jenis pelayanan perpajakan baik jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB dilakukan di KPP Pratama sedangkan untuk KPP WP Besar dan KPP Madya hanya jenis pajak PPh dan PPN, sehingga menyebabkan adanya peleburan KP.PBB ke KPP Pratama. Proses penyelesaian keberatan hanya ada di tingkat Kanwil, mengingat di Kanwil tidak menjalankan fungsi pemeriksaan lagi karena fungsi pemeriksaan sepenuhnya dilaksanakan oleh KPP Modern yang menyebabkan pula dileburnya Karikpa ke KPP Modern.
Pelayanan Prima KPP Modern
Dengan model KPP Modern seperti diuraikan di atas diharapkan DJP dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dalam masalah perpajakan. Untuk mensukseskan pelayanan prima tersebut DJP telah menyiapkan pelayanan ekstra pada setiap KPP Modern.
Tersedianya Account Representatives (AR) sebagai ujung tombak pelayanan dan perantaran antara DJP dengan WP yang mengemban tugas melayani setiap Wajib Pajak dalam hal antara lain pertama membimbing/menghimbau WP dan memberikan konsultasi teknis perpajakan. Kedua, memonitor penyelesaian pemeriksaan pajak, proses keberatan, serta mengevaluasi hasil banding. Ketiga, melakukan pemuktahiran data WP dan menyusun profil WP. Keempat, menginformasikan ketentuan perpajakan terbaru, Kelima, memonitor kepatuhan WP melalui pemanfaatan data & SAPT (Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu). Keenam, menyelesaian permohonan surat keterangan yang diperlukan WP. Ketujuh,menganalisis kinerja wajib pajak. Kedelapan, merekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi. Dengan demikian setiap WP dapat menanyakan hak dan kewajiban perpajakannya kepada setiap AR di KPP Pratama yang telah ditunjuk untuk masing-masing WP sesuai dengan wilayah kelurahan
Pembentukan contact center : complain center, call center, non filers activation center. Dimana pengaduan yang diterima oleh complain center akan dikoordinasikan dengan unit terkait dan akan ditindaklanjuti dalam waktu 3 hari kerja dan jenis-jenis pengaduan termasuk mengenai pelayanan, konsultasi, pemeriksaan, keberatan dan banding. Adapun media penyampaian pengaduan dapat melalui e-mail, pos, nomor telpon bebas biaya, atau langsung.
Sarana, prasarana, dan pendukung lainnya yang lebih modern meliputi Pertama, Help Desk dengan teknologi knowledge base pada Tempat Pelayanan Terpadu atau dikenal TPT (service counter), Kedua, pelayanan dengan menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini yang dikenal dengan sebutan e-system antara lain e-payment (pembayaran pajak secara on line), e-registrasion (pendaftaran wajib pajak melalui internet), e-filling (pelaporan pajak melalui internet), e-spt (pengisian SPT dengan program yang telah disediakan DJP), dan e-counseling (konsultasi secara on line). Ketiga, Built in control system: pemanfaatan sistem teknologi informasi untuk pengawasan internal termasuk pengawasan data. Keempat, petugas pajak yang berkualitas tinggi berbasis kompetensi. Kelima, penerapan Kode Etik Pegawai yang diawasi oleh Komite Kode Etik Pegawai, Komisi Ombudsman Nasional, Tim Khusus Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan, dan 2 Subdirektorat Kantor Pusat DJP yang menangani Pengawasan Internal. Keenam, Sistem remunerasi yang lebih baik dengan adanya TKT (Tunjangan Kegiatan Tambahan). Ketujuh, Layar sentuh Informasi Perpajakan (Touch Screen). Kedelapan, Sistem antrian dan LCD Proyektor berikut electric screen layaknya di Bank. Kesembilan, tersedianya ruang konseling/closing conference serta brosur, leaflet, dan majalah perpajakan. Kesepuluh, tersedianya Bank/Tempat Pembayaran Pajak (bekerjasama dengan PEMDA setempat/Kantor Pos).
Fokus Ekstensifikasi KPP Modern
Mengingat struktur penerimaan pajak saat ini masih bertumpu pada WP Badan dengan jenis pajak PPh dan PPN maka kontribusi penerimaan PPh WP Orang Pribadi (WP OP) perlu ditingkatkan sebagaimana lazimnya di negara maju seperti di Amerika Serikat = 86%, Jepang = 60%, Filipina = 37%, Thailand = 36%, Malaysia = 28% sedangkan Indonesia sendiri 28% itupun hasil kontribusi dari PPh Pasal 21 Karyawan, PPh Pasal 25 Angsuran, dan PPh Pasal 29 Kurang Bayar Akhir Tahun Perseorangan (Makalah Modernisasi Administrasi Perpajakan KPP Pratama, Kantor Pusat DJP)
Secara Nasional jumlah WP Orang Pribadi yang terdaftar di Indonesia masih sangat sedikit, yaitu 2,9 juta NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) pribadi dari sekitar 220 juta penduduk, (Majalah Berita Pajak Vol. XXXIV No 1584, 1 April 2007).
Pada masa modernisasi pajak kali ini ekstensifikasi perpajakan difokuskan kepada karyawan melalui pemberi kerja dan bendaharawan pemerintah dan non karyawan berdasarkan property base sasarannya pertokoan, mall, pusat perdagangan, perumahan, apartemen, dan lainnya serta professional based sasarannya seperti dokter, notaris/PPAT, pengacara, artis, dan sebagainya dengan tujuan lebih tepat sasaran.
Kode Etik Pegawai DJP
Reformasi perpajakan di segala lini yang telah disusun oleh DJP akan sia-sia jika tanpa dukungan dari pihak eksternal maupun dari pihak internal. Sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam melangsungkan modernisasi pajak adalah dengan menyeimbangkan reward dan punishment serta menegakkan ketertiban etika, moral, dan integritas petugas pajak. DJP-pun telah menyusun sebuah Kode Etik Pegawai DJP yang diatur dalam Permenkeu No 1/PMK.3/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang 9 kewajiban pegawai dan 8 larangan pegawai baik kepada masyarakat WP, sesama pegawai, atau pihak lain dengan sanksi setinggi-tingginya pemberhentian dengan tidak hormat dan serendah-rendahnya pernyataan tidak puas secara tertulis. Tercatat selama tahun 2006 terdapat 210 pegawai pajak yang telah dijatuhkan sanksi disiplin dan selama Januari 2007 sebanyak 31 orang (Majalah Berita Pajak Vo. XXXIV No 1583, 15 Maret 2007)
Nampaknya, inilah wajah baru KPP Modern ke depan di seluruh Indonesia. Visi yang dicanangkan oleh DJP yakni ”Menjadi Model Pelayanan Masyarakat Yang Menyelenggarakan Sistem dan Manajemen Perpajakan Kelas Dunia, Yang Dipercaya dan Dibanggakan Masyarakat” nampak bukan sebatas impian yang jauh di awang-awang. Ekspektasi dari modernisasi pajak ini adalah meningkatkan kepatuhan (tax compliance), menurunkan keluhan, menurunkan biaya administrasi, menekan/minimalisasi penggelapan pajak, meningkatkan kepercayaan terhadap administrasi perpajakan, serta tak lupa meningkatkan integritas dan produktivitas pegawai pajak.
Dan tentunya tanpa adanya dukungan penuh dari masyarakat luas niscaya modernisasi pajak tidaklah membawa dampak yang positif bagi masa depan bangsa. Dengan demikian slogan ”Pajak, Bersama Anda Membangun Bangsa” atau ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya” harus kita dukung sepenuhnya agar hasil perjuangan patriot bangsa dalam memerdekakan bangsa Indonesia bisa dinikmati oleh anak cucu kita dan kita doakan semoga modernisasi pajak membawa kemandirian dan kehormatan bangsa.